Satu kalimat untuk kota yang aku tinggali saat ini. Sebenarnya aku bukan warga asli kota surabaya, statusku di sini hanyalah seorang pendatang atau lebih tepatnya seorang mahasiswa yang menuntut ilmu di surabaya. Tetapi meskipun aku seorang pendatang, rasanya aku sudah jatuh cinta dengan kota ini, ya “i love you surabaya”.
Kota ini
menyimpan begitu banyak sejarah masa kolonial belanda. Di jalan jembatan merah
tepatnya di depan gedung tua internatio adalah saksi bisu tewasnya jendaral
besar inggris yaitu a.w.s mallaby. Hotel yamato yang dulunya bernama hotel
orange merupakan tempat terjadinya perobekan bendera belanda menjadi sang saka
merah-putih yang sekarang sudah berganti nama menjadi hotel majapahit. Pertempuran
di surabaya adalah awal terjadinya perlawanan-perlawanan di berbagai kota di
indonesia terhadap belanda. Pidato bung Tomo yang isinya merdeka atau mati
telah menguatkan hati warga kota surabaya untuk tidak takut membela kedaulatan
indonesia walaupun pada saat itu pemerintah indonesia sudah lepas tangan akan
nasib kota surabaya. Selama 21 hari kota surabaya di bombardir oleh pasukan
inggris lewat serangan udara hingga akhirnya seluruh kota menjadi hancur. Banyak
sekali warga sipil yang menjadi korban hingga dunia internasional mengutuk
tentara inggris atas kejadian di surabaya. Tetapi surabaya tetap tidak gentar
sampai titik darah penghabisan. Itulah mengapa surabaya dijuluki kota pahlawan.
Kota ini sudah
ditakdirkan menjadi kota besar. Jika kau ingin merasakan kota surabaya tempo
dulu datanglah ke kawasan jembatan merah, kembang jepun, jalan gula, dan kawasan
religi ampel. Dari tempat-tempat itulah perdagangan di surabaya dimulai. dengan
pusat kota di jalan tunjungan dan gedung siola yang mempunyai ceritanya
sendiri. Konon pintu air jagir dibagun oleh belanda untuk mengatasi terjadinya
banjir, dikarenakan daratan kota surabaya sedikit lebih rendah dari daerah
pantai. Jalan Raya Darmo yang membentang hingga wonokromo merupakan pintu
keluar dan menuju kota surabaya.
Sekitar tahun
1930 an, kakek ku melanjutkan study sekolah menengah pertamanya di surabaya
tepatnya di kawasan religi ampel jl.pegirian. kata beliau hanya ada 3 orang
dari desaku yang melanjutkan sekolah keluar madura. Pada tahun 1980 an ibuku
yang memiliki cita-cita untuk melanjutkan perguruan tinggi nya ke kota, melanjutkan
perguruan tinggi nya di salah satu universitas islam di surabaya yaitu IAIN
Sunan Ampel yang sekarang telah berganti nama menjadi UIN Sunan Ampel. Jaman dimana
masih sedikit sekali orang yang melanjutkan kuliahnya di kota. Hanya anak dari
keluarga mampu atau seseorang dengan tekad kuat yang akhirnya dapat melanjutkan
kuliah di kota besar. Mungkin ibuku termasuk golongan yang ke dua.
Pada tahun 2013
aku melanjutkan studi S1 ku di surabaya, tepatnya di salah satu perguruan
tinggi negeri yang terkenal akan teknologinya dan sering menjuarai kontes robot
tingkat nasional. Ya aku melanjutkan kuliahku di “Politeknik Elektronika Negeri
Surabaya” yang dulunya masih di bawah naungan ITS dan sekarang telah mandiri.
ITS diresmikan oleh presiden Soekarno pada tahu 19.. . kebutuhan akan lulusan
sarjana teknik membuat sekumpulan kelompok pelajar di surabaya membangun sebuah
kampus teknologi yang nantinya setelah lulus para alumninya dapat membangun
indonesia lebih maju.
Hidup di kota
besar memang tidak seindah yang dibayangkan. Masih banyak orang yang hidupnya
kekurangan. Gemerlapnya kota surabaya hanya dinikmati oleh orang-orang berduit.
Apartment, hotel, mall, dan hunian modern hanya di nikmati oleh orang-rang
kaya. Dunia menuntut kita bekerja keras untuk terus memperkaya kaum kapitalis. Sungguh
kejamnya kehidupan kota besar.
Kembali lagi
pada kehidupanku, 3.5 tahun disini berat rasanya jika setelah wisuda nanti aku meninggalkan
kota ini dan semua kenangannya kemudian harus kembali lagi ke desa. Seperti halnya
kakek dan ibu ku yang setelah menuntut ilmu di kota harus kembali dan mengabdi
di desa.